Lima Musik Klasik Yang Kontroversial

Minggu, 23 April 2017



“Rasanya seperti terlibat pembunuhan,” begitulah yang dirasakan komposer berusia 21 tahun, Jones Tarm tentang pembatalan pertunjukannya bersama New York Youth Symphony baru-baru ini di Carnegie Hall.

Semula ia bermaksud mementaskan karyanya, March to Oblivion, yang banyak diganjar berbagai penghargaan.

Ia menggambarkan karyanya sebagai “persembahan bagi korban yang menderita akibat kekerasan dan kebencian perang, totalitarisme, nasionalisme yang memecah belah –di masa lalu dan sekarang.” Pemenang kompetisi bergengsi First Music ini mengambil beberapa idiom musikal lagu kebangsaan Ukraina era Soviet dan Horst Wessel Lied, lagu resmi partai Nazi.

Di dalam nota program konsernya, Tarm tidak menjelaskan bahwa dia melakukan hal itu –atau kenapa.



Dalam pernyataan publik yang panjang-lebar, direktur eksekutif Youth Symphony's menyatakan “mengingat tidak adanya transparansi dan tidak ada izin dari orang tua, kita tidak dapat menampilkan karyanya di program ini”.

Tidak kalah sengit, Tarm mengatakan setiap musik berhak “berbicara bagi dirinya sendiri”.

Dia lantas menyebut keputusan NYYS sebagai sebuah aksi sensor. (Bagaimanapun, memainkan Horst Wessel Lied masih ilegal di Jerman.)

Pertanyaan apakah musik, sebuah kumpulan dari vibrasi suara, dapat “berarti” apa saja –dan jika ya, bagaimana kita seharusnya menjawab arti tersebut– adalah pertanyaan yang usang dan menyebalkan, yang kita masih belum juga bisa menjawab.

Musik klasik mungkin memiliki reputasi sebagai sesuatu yang halus dan bergenre lebih sopan, tetapi berbagai kontroversi dan skandal melingkupi sejarahnya – provokasi yang terus muncul terkait Wagner, atau Stravinsky, yang Rite of Spring-nya memicu kerusuhan paling legendaris dalam sejarah musik.

Berikut ini beberapa karya musik klasik yang telah menyebabkan kerusuhan –baik karena alasan-alasan, tekstual estetika maupun politik– dalam beberapa abad terakhir.

St John Passion karya JS Bach (1724)

 

Kita tidak akan sungguh-sungguh membayangkan bapak musik klasik ini sebagai tukang intrik –meskipun dibuktikan dalam biografi yang luar biasa oleh John Eliot Gardiner pada tahun 2014, kita juga tidak akan menganggapnya sebagai orang kudus hanya karena dia telah menuliskan musik yang begitu sublim.

Tetapi yang dilakukannya terhadap Gospel of St John, sebuah fondasi bagi karya besar musk klasik, menyisakan hal tidak mengenakkan bagi sebagian orang.

Pada tahun 1995, pecah aksi unjuk rasa mahasiswa di Swarthmore College di Philadelphia, setelah para anggota paduan suara menolak untuk menyanyikan apa yang mereka anggap sebagai kata-kata anti Semitik.

Gospel yang dipermasalahkan itu mengacu pada musuh-musuh Yesus sebagai “Yahudi, Yahudi, Yahudi,” yang diulang-ulang sebanyak 70 kali dalam pertunjukan 110 menit itu.

 

Pada tahun 2000, pada peringatan kematian sang komposer ke 250 tahun, terjadi unjuk rasa menolak pertunjukan Passion di Oregon Beach Festival, ditandai pula dengan seorang rabbi yang menghalang-halangi acara dan yang lainnya mengundurkan diri dari panitia perencanaan festival.

Kritik-kritik bergeser ke perdebatan; studi Michael Marissen, "Lutheranism, Anti-Judaism and Bach's St John Passion" dengan cermat menilik cara Bach menanganiteks gospel yang menantang itu.

Meskipun demikian banyak komentator yang merujuk pada pandangan ahli Bach terkemuka, Robert L Marshall, bahwa St John Passion “memberi suara bagi perasaan-perasaan paling luhur dari jiwa manusia (dan) tak diperlukan permintaan maaf baik maha karya agung itu maupun penciptanya yang tak tertandingkan itu." 

Simfoni No 3: ‘Eroica’, judul baru yang menggantikan ‘Bonaparte’ karya Ludwig van Beethoven (1804)

 

Kisah di belakang persembahan simfoni ketiga Beethoven adalah suatu kisah legendaris dalam musik.

Sebagaimana dituliskan penyiar BBC Tom Service: “Bayangkan jika tak ada kejadian yang turut terlibat, dan Beethoven tetap dalam rencana awal, dan simfoni ketiganya disebut 'Bonaparte'.

Bayangkan berbagai interpretasi dan analisis yang bisa mengarah pada upaya yang menderetkan karya itu antara proyek-proyek Napoleonik dan gagasan humanisnya.

  

'Napoleonic' tentunya menjelaskan bagaimana Beethoven menempatkan karyanya -dia bahkan telah merancang program tentang kehidupan Bonaparte dalam pergeakan-pergerakan simfoni itu. Hingga tiba suatu saat di tahun 1804 ketika dia diberitahu bahwa Napoleon telah mengangkat dirinya sebagai Kaisar.

Persembahan awal bagi Bonaparte pun ditanggalkan; Beethoven mengumumkan bahwa Napoleon adalah seorang “tiran”, yang “akan menganggap dirinya lebih unggul dari semua orang lain,” dan mengganti judul simfoninya menjadi “Eroica”.

Simfoni itu juga kontroversial secara musikal, menyebabkan penggemar berat Beethoven, Hector Berlioz pada satu titik menyatakan “jika itu benar-benar yang diinginkan Beethoven... harus diakui bahwa hal ini merupakan suatu hal yang absurd.”

Absurd atau sebaliknya, Eroica muncul sebagai salah satu monumen budaya terpenting sepanjang masa.

Parade by Erik Satie (1917)

 

“Tuan dan teman-teman tercinta – kalian bukan sekadar dungu, tetapi seorang dungu tanpa musik.”

Begitulah komentar Erik Satie terhadap kritik Jean Poueigh, yang telah memasukan musiknya dalam Parade, sebuah karya 5 menit yang ditulis untuk Diaghilev’s Ballet Russes, yang juga meneyertakan imajinasi iconoclastic modern Jean Cocteau dan Pablo Picasso.

Poueigh kemudian menggugat Satie dalam satu prtarungan pengadilan yang getir –dan menang.

Dikenal sebagai komposer nyleneh dan nyentrik, Satie menggunakan efek suara yang dianggap radikal waktu itu seperti suara ketikan mesin tulis, dentingan botol susu, suara tembakan, terompet kabut dan sirine.

Avant garde? Tentu saja, tetapi penonton dalam pertunjukan erdana di Paris pada 18 Mei 1917 sepakat dengan Poueigh; mereka menyoraki, mencibir, dan bahkan melemparkan buah jeruk pada orkestra itu.

4’33” karya John Cage (1952)

 

Cage, yang belajar bersama Arnold Schoenberg, menyatakan 4'33” adalah karyanya yang paling “penting”; para pengkritiknya menyatakan ini adalah lelucon yang sangat buruk.

Partitur dari karya tiga bagian itu menginstruksikan para pemain untuk tidak memainkan alat musik sepanjang durasi kompossi itu, untuk mendorong penonton terlibat dengan nuansa suara-suara di gedung konser.

Tidak ada yang namanya keheningan. Apa yang mereka pikir keheningan, adalah karena mereka tidak tahu bagaimana mendengar, penuh dengan suara-suara yang tidak sengaja.

Cage, yang sangat dipengaruhi oleh Zen Buddhism, pertama kali menyinggung ide menyusun karya yang sepenuhnya hening selama perkuliahan di Vassar University di akhir 1940an.

Meski demikian, dia memperkirakan bahwa lagu semacam ini akan “tak terpahamkan konteks Barat,” dan agak ragu untuk menuliskannya: “Saya tidak ingin bahwa lagu itu muncul sebagaimana sesuatu mudah dikerjakan atau sebagai lelucon belaka,” dia berkata saat itu.

“Saya ingin menginginkannya sebagai sesuatu yang berarti, dan bisa hidupbersama karya itu.”

Pada tahun 1951, dia menghabiskan waktu di ruang kedap suara di Harvard University, dan pengalaman yang didapatkannya memberikannya kepercayaan intelektual yang dia butuhkan untuk memproses idenya.

“Saya mendengar dua suara, satu tinggi dan satu rendah,” jelasnya.

“Saat saya memaparkannya pada tukang yang bertugas, dia mengatakan pada saya bahwa suara yang tinggi adalah sistem saraf saya yang sedang bekerja, dan yang rendah adalah darah saya sedang bersirkulasi.”

 

Dengan penuh kemenangan, dia menambahkan: “Sampai saya mati nanti, bunyi akan selalu ada. Dan akan terus ada. Tidak perlu ada yang takut tentang masa depan musik.”
Kendati demikian, ada yang menganggap bahwa masa depan musik tidak akan pernah seterancam itu.
Sejak penampilan pertamanya, di Woodstock, New York, pada tahun 1952, para pencela telah dibuat jengkel, marah dan kesal oleh 4'33”.
“Mereka tidak dapat menangkap intinya,” kata Cage.
“Tidak ada yang namanya keheningan. Apa yang mereka pikir keheningan, adalah karena mereka tidak tahu bagaimana mendengar. Anda dapat mendengar angin yang berhembus di luar pada bagian pertama. Pada bagian kedua, hujan mulai mengetuk atap, dan pada bagian ketiga orang-orang itu sendirilah yang menciptakan segala jenis suara yang menarik, ketika mereka berbicara atau keluar ruangan.”
Tetapi sebagaimana dinyatakan oleh Julian Dodd dalam TED Talk baru-baru ini, perdebatan tetap bergolak.
Apakah karya itu tergolong musik? Andalah yang memutuskan.

Four Organs karya Steve Reich (1970)

 

Penonton konser musik klasik di New York umumnya kelompok yang cukup sopan, tetapi tidak begitu di 18 Januari 1973.
Musik karya Reich, ditulis untuk empat jenis organ Hammond dan maracas, ditulis atas permintaan konduktor muda yang visioner dari Boston Symphony Orchestra, Michael Tilson Thomas, yang dengan tidak ragu-ragu memasukkannya ke dalam program konser bersama sejumlah nomor karya Mozart, Bartók dan Liszt.
(Para komposer itu pada masanya dianggap sebagai arsitek dalam revolusi bermusik.)
Tetapi reaksi-reaksi para pendengar malam itu di Carnegie Hall beragam, mulai dari “olokan ringan”, menurut salah satu kritikus, sampai teriakan mengancam, hingga seseorang yang berlari menuruni tangga sambil berteriak “Baiklah, saya mengaku!,” juga seorang perempuan tua menghentak-hentakkan sepatunya di panggung sebagai upaya untuk membuat Boston Symphony Orchestra.
Lalu kita melompat ke tahun 2011, saat Carnegie Hall menyelenggarakan perayaan besar ulang tahun ke 75 “seorang komposer Amerika terbesar yang masih hidup.”